Minggu, 14 Januari 2018

kepribadian ali bin abi thalib


KEPRIBADIAN ALI BIN ABI THALIB


1.      Kepahlawanannya di Medan Jihad
Sejak muda, Ali bin Abu Thalib adalah seorang yang merindukan mati syahid, laksana seseorang yang haus merindukan air yang segar. Lembaran-lembaran kehidupannya telah ia penuhi dengan semangat jihad. Ia adalah seorang prajurit berkuda yang tangguh dan seorang mujahid yang militan.
            Sebelum Perang Badar berlangsung, dari barisan kaum musyrikin tampil tiga orang prajurit pilihan. Mereka adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Walid bin Utbah. Mereka berseru, “Siapakah yang sanggup melakukan perang tanding melawan kami?” Maka, majulah beberapa pemuda dari kaum Anshar. Pada saat itu juga, Utbah bin Rabi’ah berkata, “Kami tidak menginginkan kalian! Yang kami inginkan adalah orang-orang dari suku kami!” Maka Rasulullah bersabda, “Bangunlah, wahai Hamzah bin Abdul Muthalib. Bangunlah, wahai Ali bin Abu Thalib. Dan bangunlah, wahai Ubaidah bin Harits!
            Maka, majulah Hamzah bin Abdul Muthalib menghadapi Utbah bin Rabi’ah, Ali bin Abu Thalib menghadapi Syaibah bin Utbah, dan Ubaidah bin Harits melawan Walid bin Utbah, yang masing-masing (antara Ubaidah dan Walid) melukainya lawannya. Kemudian, Hamzah dan Ali segera menghabisi Walid, lalu membawa Ubaidah ke dalam barisan kaum Muslimin. Tak lama setelah itu, Ubaidah bin Harits menghembuskan nafas terakhirnya dan mati syahid.
            Kepahlawanan Ali terulang kembali dalam perang Khandaq. Salah seorang pendekar Quraisy, Amru bin Abdul Wudd keluar dari tengan-tengah barisan Quraisy, seraya berseru kepada kaum Muslimin, “Siapakah yang sangguo melawanku?!” Maka, Ali pun berkata kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Duduklah engkau, ia adalah Amru.” Kemudian Amru berteriak sekali lagi, “Tidak adakah seorang lelaki yang sanggup menghadapiku? Bukankah kalian megatakan bahwa jika salah seorang di antara kalian terbunuh, maka orang itu akan memasuki surga? Maka, kenapa tidak ada seorang lelaki di antara kalian yang tampil?” Ali berkata, “Saya, wahai Rasulullah!” Beliau bersabda, “Duduklah.” Kemudian Amru mengulangi kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair yang bernuansa kesombongan. Maka Ali berkata, “Meskipun Amru sekalipun!” Akhirnya Rasulullah pun mengizinkannya.

2.    Kezuhudannya
            Ali bin Abu Thalib tak sedikit pun terpesona dan terlena dengan kehidupan dunia. Ia benar-benar mengatahui hakikat kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia mampu mengendalikan perhiasan dunia yang begitu menggoda. Itulah cahaya kezuhudan yang tertanam dalam jiwanya. Kezuhudan akibat buah tarbiyah dari madrasah nabawi.
Ketika memangku jabatan khalifah, ia diminta untuk tinggal di istana Negara sebagai Amirul Mukminin. Sebuah gedung yang tinggi, sangat indah, megah dan mempesona. Ketika melihatnya, secara spontan ia berpaling ke belakang seraya berkata, “Istana berengsek ini!!! Aku tidak sudi tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya!
Kekhalifahan tidak lah menambah kemuliaannya, justru beliau yang memperindah kekhalifahan dengan keadilan, zuhud, dan ilmunya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya kekhalifahan tidaklah menghiasi Ali, justru beliaulah yang menghiasiasi kekhalifahan tersebut.

3.    Sifatnya yang Rendah Hati
            Ali bin Abu Thalib adalah orang yang sangat rendah hati. Ia pernah berpakaian yang robek dan kasar, padahal ketika itu ia adalah Amirul Mukminin. Ia mengenakan pakaian yang robek bukan karena tidak mampu membelinya yang bagus, akan tetapi ia memaksakan diri untuk mendidik jiwanya, dan merefleksikan hatinya agar lebih dekat dan khusyu kepada Allah. Karena semakin jauh dari dunia, maka ia akan semakin dekat dan bergantung kepada Allah, sehingga membantunya untuk banyak beramal dan bertaqarrub kepada-Nya. Selain itu pula, sederhana dalam berpakaian juga akan lebih bisa dijadikan sebagai teladan oleh pengikutnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Abu Thalib pernah membeli kurma dengan harga satu dirham, maka ia menjinjingnya sendiri. Kemudian banyak orang yang menawarkan diri untuk membantunya. Maka, Ali berkata, “Tidak! Seorang kepala keluarga lebih berhak untuk membawanya sendiri.” (HR. Ahmad)
            Allahu Akbar, betapa tinggin sifatnya. Betapa jelas sikap kelembutan pada rakyatnya. Ialah Amirul Mukminin yang menjinjing belanjaannya sendiri, berjalan di pasar bersama rakyatnya, tidak ridha atas bantuan orang yang menawarkan bantuannya, sebab ia merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan tersebut.
              Sifat rendah hatinya ini didasari oleh keyakinannya pada urgensi dari akhlak tersebut. Ia yakin bahwa sikap rendah hati akan mempengaruhi masyarakat sekitar sehingga mereka pun merasa senang dan bahagia hidup bersama. Bahkan, inilah satu sikap yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad.

     Allah berfirman:

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215

4.    Keadilannya
            Adapun akhlak beliau bersama keluarganya, dan keadilannya bersamaa para istrinya nampak jelas sekali. Ali bin Rabi’ah telah meriwayatkan bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki dua orang istri. Ketika ia membelikan salah satu istrinya berupa daging seharga setengah dirham, maka keesokan harinya ia pun membelikan istrinya yang satunya berupa daging seharga setengah dirham pula.
            Kemudian Ashim bin Kulaib pernah meriwayatkan tentang keadilannya tentang anak-anaknya. Ia berkata, “Pada suatu hari, Ali bin Abu Thalib datang dari Ashbahan membawa harta, maka ia membagi harta itu menjadi tujuh bagian. Kemudian ia pun membagi rotinya menjadi tujuh bagian sebagaimana ia membagi hartanya. Kemudian mengundi ketujuh anaknya tersebut, siapa pun nama mereka yang keluar, maka akan mendapatkan bagian untuk pertama kali.

5.    Kebijakannya


            Sudah diketahui bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki sikap yang tegar dan kuat pendirian dalam membela kebenaran. Setelah dipilih menjadi khalifah, ia cepat mengambil tindakan dengan segera mengambil perintah yang menunjukkan ketegasan sikapnya, di antaranya:

a.       Memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh Utsman bin Affan yang berasal dari Bani Umayah. Sebab, menurut ijtihad Ali bin Abu Thalib mereka adalah penyebab terjadinya fitnah dan kerusuhan.
b.      Mengembalikan tanah-tanah dan hibah dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemilik tanah sebelumnya.
6.    Sikapnya kepada Musuh
            Akhlak Ali bin Abu Thalib sangat luas, sampai-sampai mencakup pada orang-orang yang sangat memusuhinya, bahkan yang sangat membahayakannya sekalipun,  yaitu Abdurrahman bin Muljam yang telah menikamnya. Amirul mukminin telah memerintahkan kepada anaknya untuk berbuat baik kepadanya, memberikan makanan dan minuman yang baik serta tidak memotong mayatnya jika dihukum mati.

            Ia mengatakan kepada mereka tentang Abdurrahman bin Muljam. “Sesungguhnya ia adalah tawanan, maka baguskanlah jamuannya dan muliakanlah tempatnya. Jika aku hidup, maka aku akan membunuhnya atau memaafkannya. Jika aku mati, maka bunuhlah ia dan janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yeng melampaui batas.” (HR. Ahmad)

            Ali adalah seorang sahabat yang dikaruniai oleh Allah berupa ilmu yang luas dan pendalaman yang mendalam. Abu Sa’id Al-Khudri berkata bahwa ia pernah mendengar Umar bin Al-Khattab bertanya kepada Ali tentang sesuatu hal. Setelah dijawab oleh Ali, maka Umar berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hidup di tengah-tengah suatu kaum yang engkau tidak berada di situ, wahai Abu Hasan (Ali).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar