KEPRIBADIAN ALI BIN ABI THALIB
1.
Kepahlawanannya
di Medan Jihad
Sejak muda, Ali bin Abu Thalib
adalah seorang yang merindukan mati syahid, laksana seseorang yang haus
merindukan air yang segar. Lembaran-lembaran kehidupannya telah ia penuhi
dengan semangat jihad. Ia adalah seorang prajurit berkuda yang tangguh dan
seorang mujahid yang militan.
Sebelum
Perang Badar berlangsung, dari barisan kaum musyrikin tampil tiga orang
prajurit pilihan. Mereka adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan
Walid bin Utbah. Mereka berseru, “Siapakah yang sanggup melakukan perang
tanding melawan kami?” Maka, majulah beberapa pemuda dari kaum Anshar. Pada
saat itu juga, Utbah bin Rabi’ah berkata, “Kami tidak menginginkan kalian!
Yang kami inginkan adalah orang-orang dari suku kami!” Maka Rasulullah
bersabda, “Bangunlah, wahai Hamzah bin Abdul Muthalib. Bangunlah, wahai Ali
bin Abu Thalib. Dan bangunlah, wahai Ubaidah bin Harits!”
Maka,
majulah Hamzah bin Abdul Muthalib menghadapi Utbah bin Rabi’ah, Ali bin Abu
Thalib menghadapi Syaibah bin Utbah, dan Ubaidah bin Harits melawan Walid bin
Utbah, yang masing-masing (antara Ubaidah dan Walid) melukainya lawannya.
Kemudian, Hamzah dan Ali segera menghabisi Walid, lalu membawa Ubaidah ke dalam
barisan kaum Muslimin. Tak lama setelah itu, Ubaidah bin Harits menghembuskan
nafas terakhirnya dan mati syahid.
Kepahlawanan
Ali terulang kembali dalam perang Khandaq. Salah seorang pendekar Quraisy, Amru
bin Abdul Wudd keluar dari tengan-tengah barisan Quraisy, seraya berseru kepada
kaum Muslimin, “Siapakah yang sangguo melawanku?!” Maka, Ali pun berkata
kepada Rasulullah, “Saya akan menghadapinya, wahai Rasulullah.” Lalu
beliau bersabda, “Duduklah engkau, ia adalah Amru.” Kemudian Amru
berteriak sekali lagi, “Tidak adakah seorang lelaki yang sanggup
menghadapiku? Bukankah kalian megatakan bahwa jika salah seorang di antara
kalian terbunuh, maka orang itu akan memasuki surga? Maka, kenapa tidak ada
seorang lelaki di antara kalian yang tampil?” Ali berkata, “Saya, wahai
Rasulullah!” Beliau bersabda, “Duduklah.” Kemudian Amru mengulangi
kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair yang bernuansa kesombongan.
Maka Ali berkata, “Meskipun Amru sekalipun!” Akhirnya Rasulullah pun
mengizinkannya.
2. Kezuhudannya
Ali
bin Abu Thalib tak sedikit pun terpesona dan terlena dengan kehidupan dunia. Ia
benar-benar mengatahui hakikat kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, ia
mampu mengendalikan perhiasan dunia yang begitu menggoda. Itulah cahaya
kezuhudan yang tertanam dalam jiwanya. Kezuhudan akibat buah tarbiyah dari
madrasah nabawi.
Ketika memangku jabatan khalifah, ia
diminta untuk tinggal di istana Negara sebagai Amirul Mukminin. Sebuah gedung
yang tinggi, sangat indah, megah dan mempesona. Ketika melihatnya, secara
spontan ia berpaling ke belakang seraya berkata, “Istana berengsek ini!!!
Aku tidak sudi tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya!”
Kekhalifahan tidak lah menambah
kemuliaannya, justru beliau yang memperindah kekhalifahan dengan keadilan,
zuhud, dan ilmunya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad bin Hambal,
“Sesungguhnya kekhalifahan tidaklah menghiasi Ali, justru beliaulah yang
menghiasiasi kekhalifahan tersebut.”
3. Sifatnya
yang Rendah Hati
Ali
bin Abu Thalib adalah orang yang sangat rendah hati. Ia pernah berpakaian yang
robek dan kasar, padahal ketika itu ia adalah Amirul Mukminin. Ia mengenakan
pakaian yang robek bukan karena tidak mampu membelinya yang bagus, akan tetapi
ia memaksakan diri untuk mendidik jiwanya, dan merefleksikan hatinya agar lebih
dekat dan khusyu kepada Allah. Karena semakin jauh dari dunia, maka ia akan
semakin dekat dan bergantung kepada Allah, sehingga membantunya untuk banyak beramal
dan bertaqarrub kepada-Nya. Selain itu pula, sederhana dalam berpakaian juga
akan lebih bisa dijadikan sebagai teladan oleh pengikutnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Abu
Thalib pernah membeli kurma dengan harga satu dirham, maka ia menjinjingnya sendiri.
Kemudian banyak orang yang menawarkan diri untuk membantunya. Maka, Ali
berkata, “Tidak! Seorang kepala keluarga lebih berhak untuk membawanya
sendiri.” (HR. Ahmad)
Allahu
Akbar, betapa tinggin sifatnya. Betapa jelas sikap kelembutan pada rakyatnya.
Ialah Amirul Mukminin yang menjinjing belanjaannya sendiri, berjalan di pasar
bersama rakyatnya, tidak ridha atas bantuan orang yang menawarkan bantuannya,
sebab ia merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan tersebut.
Sifat rendah hatinya ini didasari oleh keyakinannya pada urgensi dari akhlak
tersebut. Ia yakin bahwa sikap rendah hati akan mempengaruhi masyarakat sekitar
sehingga mereka pun merasa senang dan bahagia hidup bersama. Bahkan, inilah
satu sikap yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad.
Allah berfirman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215
QS:Asy-Syu'araa | Ayat: 215
4. Keadilannya
Adapun akhlak beliau bersama keluarganya, dan keadilannya bersamaa para
istrinya nampak jelas sekali. Ali bin Rabi’ah telah meriwayatkan bahwa Ali bin
Abu Thalib memiliki dua orang istri. Ketika ia membelikan salah satu istrinya
berupa daging seharga setengah dirham, maka keesokan harinya ia pun membelikan
istrinya yang satunya berupa daging seharga setengah dirham pula.
Kemudian
Ashim bin Kulaib pernah meriwayatkan tentang keadilannya tentang anak-anaknya.
Ia berkata, “Pada suatu hari, Ali bin Abu Thalib datang dari Ashbahan
membawa harta, maka ia membagi harta itu menjadi tujuh bagian. Kemudian ia pun
membagi rotinya menjadi tujuh bagian sebagaimana ia membagi hartanya. Kemudian
mengundi ketujuh anaknya tersebut, siapa pun nama mereka yang keluar, maka akan
mendapatkan bagian untuk pertama kali.”
5. Kebijakannya
Sudah diketahui bahwa Ali bin Abu Thalib memiliki sikap yang tegar dan kuat pendirian dalam membela kebenaran. Setelah dipilih menjadi khalifah, ia cepat mengambil tindakan dengan segera mengambil perintah yang menunjukkan ketegasan sikapnya, di antaranya:
a. Memecat beberapa gubernur yang
pernah diangkat oleh Utsman bin Affan yang berasal dari Bani Umayah. Sebab,
menurut ijtihad Ali bin Abu Thalib mereka adalah penyebab terjadinya fitnah dan
kerusuhan.
b. Mengembalikan tanah-tanah dan hibah
dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemilik tanah sebelumnya.
6. Sikapnya kepada Musuh
Akhlak
Ali bin Abu Thalib sangat luas, sampai-sampai mencakup pada orang-orang yang
sangat memusuhinya, bahkan yang sangat membahayakannya sekalipun, yaitu
Abdurrahman bin Muljam yang telah menikamnya. Amirul mukminin telah
memerintahkan kepada anaknya untuk berbuat baik kepadanya, memberikan makanan
dan minuman yang baik serta tidak memotong mayatnya jika dihukum mati.
Ia mengatakan kepada mereka tentang Abdurrahman bin Muljam. “Sesungguhnya ia
adalah tawanan, maka baguskanlah jamuannya dan muliakanlah tempatnya. Jika aku
hidup, maka aku akan membunuhnya atau memaafkannya. Jika aku mati, maka bunuhlah
ia dan janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yeng melampaui batas.” (HR. Ahmad)
Ali adalah seorang sahabat yang dikaruniai oleh Allah berupa ilmu yang luas dan
pendalaman yang mendalam. Abu Sa’id Al-Khudri berkata bahwa ia pernah mendengar
Umar bin Al-Khattab bertanya kepada Ali tentang sesuatu hal. Setelah dijawab
oleh Ali, maka Umar berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hidup di
tengah-tengah suatu kaum yang engkau tidak berada di situ, wahai Abu Hasan
(Ali).”